Perspektif Etis Pembudayaan Minat Baca

Perspektif Etis Pembudayaan Minat Baca

Bulan lalu, tepatnya pada tanggal 23 April kita telah merayakan Hari Buku Sedunia yang ditetapkan oleh UNESCO yang merupakan salah satu badan khusus PBB yang bergerak dibidang Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan. Di Indonesia sendiri tepat pada tanggal 17 Mei kemarin, juga turut memperingati Hari Buku Nasional. Hari Buku Nasional ini juga bertepatan dengan peringatan pendirian Perpustakaan Nasional Republik Indonesia atau sering disebut dengan Perpusnas yang terletak di Jakarta pada tahun 1980 silam. Namun disayangkan, Hari Buku Nasional masih kalah pamor jika dibandingkan dengan Hari Buku Internasional. Peringatan Hari Buku Nasional mungkin masih dikategorikan baru sebab pada tahun 2002 baru disahkan oleh Menteri Pendidikan Nasional pada Era Kabinet Gotong Royong, Abdul Malik Fadjar.

Seiring perkembangan teknologi informasi yang tertuang dalam media internet, keberadaan buku kini seolah tersingkir. Selain internet, kini handphone telah bermetamorfosis menjadi smartphone yang menawarkan berbagai aplikasi yang dapat dengan mudah diunduh secara gratis. Salah satu aplikasi yang ditawarkan dari kecanggihan teknologi adalah e-book. Cukup menginstal aplikasi pada smartphone kita sudah bisa membaca e-book. Kemudahan akses dalam e-book membuat orang semakin enggan untuk membeli buku. Meskipun tidak semua unit menerbitkan buku dalam bentuk e-book, namun tidak menutup kemungkinan bagi sebagian orang akan berifikir tidak perlu membeli buku. Mereka akan cenderung berasumsi semua informasi yang kita butuhkan dapat dengan mudah ditemukan pada menu search engine. 

Diluar dari kemudahan akses informasi, apakah hal tersebut justru meningkatkan minat baca bagi masyarakat? untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus menarik benang putih agar sampai ke akarnya. Menurut data survei UNESCO pada tahun 2015 mengungkapkan bahwa usia muda di Indonesia (usia dibawah 24 tahun) yang melek huruf hanya 99,09%. Artinya, dalam seribu masyarakat hanya ada satu masyarakat yang memiliki minat baca. Ditambahkan, menurut data www.bps.go.id persentase penduduk buta huruf pada tahun 2016 berdasarkan kelompok umur yakni usia 15 tahun keatas sebanyak 4,62%, usia 15-44 tahun sebanyak 1%, dan usia 45 tahun keatas sebanyak 11,47%. Namun bukti sebaliknya mengatakan, dilansir dari Ranking The World's Most Literate Nations (WMLN) pada 2016 minat baca di Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara. Ini tentu bertolak belakang dengan kemampuan melek huruf yang dimiliki oleh masyarakat di Indonesia. Potret minat baca yang rendah pada sebagian masyarakat Indonesia tersebut mengindikasikan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki belum berkualitas. Sebab dengan rendahnya minat baca, kemunduran perkembangan ilmu pengetahuan akan meningkat sehingga pada akhirnya akan berdampak pada ketertinggalan bangsa Indonesia itu sendiri.

Kebijakan dan Faktor yang Mempengaruhi Minat Baca
Pemerintah juga ikut andil dalam pembudayaan kegemaran membaca melalui gerakan nasional gemar membaca. Dalam rangka meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa, perlu ditumbuhkan budaya gemar membaca melalui pengembangan dan pendayagunaan perpustakaan sebagai sumber informasi. Menurut UU Nomor 43 tahun 2007 diatur jelas berbagai hal mengenai perpustakaan yang didalamnya mengatur mengenai berbagai hal mulai dari wewenang, peran serta, dan kerjasama masyarakat. Namun semua itu belum cukup untuk mengatasi permasalahan minat baca yang masih tergolong rendah di Indonesia. Permasalahan minat baca ini tentunya perlu untuk digali secara menyeluruh.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kurangnya minat baca. Sebagian besar orang diantaranya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menonton TV dibandingkan dengan membaca. Diperparah lagi banyak program televisi yang tidak menyertakan nilai pendidikan, hal ini ditakutkan akan semakin merusak moral bangsa yang justru membuat budaya etis akan semakin pudar. Selain itu, kesibukan orang tua menjadi penyebab kurang memperhatikan anak-anaknya sehingga tidak ada waktu untuk membina minat baca terhadap anak-anaknya. Jika dipahami secara saksama, penyumbang utama ialah lingkungan keluarga karena keluarga yang menjadi fondasi utama perkembangan karakter. Selain itu, perkembangan teknologi rupanya tidak dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Budaya yang berkembang akan tren yang bersifat “kekinian” menyebabkan penggunaan internet tidak digunakan sebagai alternatif untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan. Kini sebagian besar masyarakat lebih mendominasi waktu luangnya untuk aktif di media sosial (medsos) seperti memposting foto di instagram dibandingkan untuk membaca buku.

Perspektif Etis dalam Upaya Pembudayaan Minat Baca
Sesuai dengan Pasal 48 dalam UU Nomor 43 tahun 2007 Pembudayaan kegemaran membaca dilakukan melalui keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. Ini berarti keluarga merupakan tempat dimulainya suatu pendidikan yang memegang peranan penting untuk menanamkan kegemaran membaca, suatu keluarga yang mempunyai kepedulian membaca akan selalu berusaha menumbuhkan minat baca sejak dini dengan berbagai cara. Namun, peningkatan minat baca ini tidak akan berjalan baik jika hanya membebankan pada satu pihak saja. Semua pihak harus melangkah bersama guna memajukan minat baca. Dalam Buku Akuntansi dan Etika Bisnis yang tulis oleh Ken McPhail dan Diane Walters, Perspektif Rousseau mengatakan bahwa orang seharusnya memandang diri mereka sendiri bukan sebagai individu yang terisolasi melainkan sebagai warga negara, yang mana anggota kelompok yang memiliki tanggung jawab tidak hanya pada individu lain tetapi juga tanggung jawab secara umum terhadap kelompok secara keseluruhan (warga negara). Dengan demikian, kesadaran pribadi sangat dibutuhkan untuk memulai gerakan minat baca ini. Daripada memaksa orang lain lain untuk ikut serta dalam gerakan minat baca, lebih baik dimulai dari diri kita sendiri. Hal tersebut tentunya akan menjadi contoh pembelajaran bagi generasi selanjutnya.  

Seperti kata R.A. Kartini, “Habis gelap terbitlah terang.” Manusia cenderung dalam kegelapan dan ilmu pengetahuan bak penerang. Pepatah ini mengisyaratkan bahwa buku merupakan jendela ilmu pengetahuan. Tentunya, ilmu pengetahuan dapat terserap dengan baik jika kita membaca buku. Dengan adanya momentum hari Buku Nasional kemarin, kita dapat jadikan sebagai gerbang untuk meningkatkan kualitas SDM yang dimiliki melalui minat membaca. 

Penulis: Noor Laila Fitriana

Komentar

Postingan Populer